KENANGAN KAMPUNG HALAMAN
Masa kecilku adalah masa terbaik dalam hidup. Masa kecil yang sederhana tapi bahagia. Aku menghabiskan masa kecil di daerah terpencil di TTS bernama Amanuban Timur. Peradaban modern seperti di kota besar tidak tampak di sana. Televisi adalah barang mewah karena kami belum bisa akses listrik 24 jam. Baru bisa merasakan listrik saat hari sudah mulai gelap. Itu pun jam sebelas malam sudah padam kembali. Tapi mungkin karena sedari lahir aku tidak terpapar dengan gaya hidup selayaknya di kota, rasa bahagia tetap datang setiap hari. Main di hutan, tangkap ikan di sungai, berpetualang setiap hari. Kalau hujan bahagia sekali kami main di bawah hujan. Begitu juga saat musim kemarau. Air sungai yang menyusut membuatnya jadi seperti pantai. Hampir semua keluarga di Amanuban Timur pergi ke sana untuk piknik bersama keluarga masing-masing. Kemudian kami anak-anak kecil mandi di sungai atau main sepak bola di pasir-pasir. Hidup sungguh terasa lebih mudah kala itu.
Ingatanku tentang pasar juga masih teringat jelas. Kalau pergi ke pasar harus subuh-subuh, masih gelap gulita. Sampai-sampai harus berjalan pakai senter atau pelita. Yang aku senangi kalau ke pasar adalah pergi ke toko kue. Seperti televisi, kue di sana juga layaknya barang mewah. Tidak ada bakery seperti kota besar. Yang ada hanya satu toko kue milik tante orang o,bikase. Rotinya sungguh enak sekali rasanya. Kalau tidak pagi-pagi datang pasti kehabisan. Mendengar ini mungkin teman-teman yang bukan orang TTS merasa sedih dengan kondisi kami. Tapi sebenarnya tidak begitu. Aku bersyukur menghabiskan masa kecil di sana. Dekat dengan alam dan jauh dari modernisasi. Ketika aku pindah ke kupang, teman-teman lain tidak bisa berenang sedangkan aku bisa. Sepertinya alam Amanuban Timur mengajarkanku untuk tangguh dan punya daya juang yang tinggi saat berada di alam. Terbiasa untuk menjaga diri dan punya kewaspadaan tinggi akan hal-hal yang mungkin tidak bisa diprediksi. Aku juga jadi jauh bisa lebih mensyukuri dan menghargai atas apa yang aku dapatkan di Kupang. Seperti akses listrik 24 jam. Aku bisa nonton televisi kapan pun padahal di saat yang sama teman-teman di Amanuban Timur tidak bisa.
Aku bersyukur menghabiskan masa kecil di sana. Dekat dengan alam dan jauh dari modernisas
Meskipun sering merindukan kampung halaman tapi aku tidak menyesali pengalamanku merantau. Rasanya menjadi perantau bisa menciptakan mental yang lebih kuat untuk terus berjuang. Sebelum ke Jakarta aku memang sudah sering dengar dari teman-teman yang sudah lebih dulu merantau bahwa Jakarta itu keras. Ketika sampai, memang ada beberapa kesulitan yang harus aku hadapi. Tapi karena sudah terbiasa hidup sendiri, terbiasa untuk mencukupi segala sesuatu sendiri juga menerima apa saja yang mungkin yang terjadi di perantauan aku belajar untuk tidak mudah menyerah. Aku percaya menyerah hanya mempersulitku untuk maju. Sebab nanti pasti ada waktunya kita mendapatkan kebaikan dari kesulitan yang pernah dialami jika kita tidak menyerah.
Aku percaya menyerah hanya mempersulitku untuk maju. Sebab nanti pasti ada waktunya kita mendapatkan kebaikan dari kesulitan yang pernah dialami jika kita tidak menyerah.
Di Kupang aku melihat semuanya serba ada. Dari gaya hidup super irit sampai super boros. Namanya saja kota metropolitan. Tinggal kita saja yang harus memilih ingin gaya hidup seperti apa. Dan memang benar juga yang dibilang orang tentang orang Kupang yang cenderung individualis. Tapi saya masih melihat keramahan mereka terhadap satu sama lain. Bahkan orang yang dari luar Kupang sekalipun. Aku cukup paham mengapa mereka terdengar individualis. Banyak yang tinggal di Kupang tujuannya untuk berkarier. Setiap hari sudah menghabiskan waktu di jalan. Ketika sudah selesai kerja pasti memilih untuk sendiri dan beristirahat. Lalu kalau ingin bersosial pilihannya lebih banyak mal atau kafe yang juga terbatas. Jadi wajar saja mereka dianggap begitu.
Sebenarnya aku pindah ke Kupang bukan berarti aku tidak melihat adanya potensi di TTS. Aku melihat potensi yang besar sekali di sana. Dengan sumber daya alam yang begitu melimpah TTS bisa menghasilkan sumber daya manusia yang tangguh jika didukung dengan sistem pendidikan dan infrastruktur seperti yang ada di Amanuban. Di TTS ke mana-mana sulit dan mahal karena kurangnya infrastruktur yang memadai. Pendidikan di sana juga amat berbeda Saat pindah aku tertinggal beberapa tahun kurikulum. Metode pengajaran dan materinya juga berbeda. Di Amanuban dulu cuma ada SD,SMP,dan SMA.
"AKU BERSYUKUR MENGHABISKAN MASA KECIL DI
SANA"
Meskipun selalu merindukan kampung halaman tapi aku tidak menyasali pengalamanku.Rasanya menjadi anak yang bisa menciptakan mental yang lebih kuat untuk terus berjuang.Aku percaya menyerah hanya mempersulitku untuk maju.Sebab nanti pasti ada waktunya aku mendapatkan kebaikan dari kesulitan yang pernah aku alami jika aku tidak menyerah.
Komentar
Posting Komentar